Wednesday, May 2, 2012

World Leaders and Their Twitters

Twitter sebagai social media terbukti ampuh dalam memasarkan dan mengomunikasikan ide, pesan, atau iklan untuk segala bidang mulai dari politik hingga makanan. Indonesia sebagai pengguna twitter nomor lima terbesar di dunia, dengan jumlah sebesar 19 juta pengguna (sumber www.semiocast.com), adalah pasar yang sangat potensial untuk mengomunikasikan pesan, salah satunya adalah politik.
Saya mencoba mengamati para pemimpin dunia dalam memanfaatkan twitter untuk mengomunikasikan pesan, melaporkan apa saja yang telah mereka capai, hingga berkampanye untuk masa jabatan berikutnya. Dibawah ini adalah tabel para pemimpin dunia dengan jumlah follower, jumlah tweet, dan jumlah pengguna twitter untuk tiap negara.




Ada dua analisa yang dapat dilambil dari data diatas.
1.       Hubungan Jumlah Tweet dengan Jumlah Follower


Mari kita menghitung seberapa efektif pemimpin men-tweet dengan jumlah follower yang 
didapat. Dengan perhitungan sederhana: membagi jumlah follower dengan jumlah tweet, akan
didapat rasio jumlah tweet per jumlah follower (ditunjukkan melalui grafik dibawah).

Melalu grafik dapat diambil kesimpulan bahwa Barack Obama dapat menjaring kira-kira sebesar 4000 follower untuk satu tweet yang diproduksi. Hal ini sejalan dengan jumlah tweet Obama yang paling besar diantara pemimpin lainnya. Sayang sekali, Presiden SBY mendapatkan rasio keefektifan paling sedikit, meskipun dari jumlah tweet bukan yang terkecil. Malah dengan jumlah 2,231 tweet, SBY merupakan pemimpin nomor 5 tersering men-tweet.
Ada beberapa penyebab dari hal tersebut. Bisa saja disebabkan oleh isi dari tweet tersebut. Akan tetapi, apabila ditinjau lebih lanjut, tweet-tweet SBY hampir sama dengan pemimpin lainnya: laporan apa saja yang telah dilakukan, transkrip pidato, dan tentu saja dikelola oleh admin (bukan orang tersebut yang men-tweet). Alasan berikutnya, apakah dari jumlah twitter user di negara yang bersangkutan berpengaruh? Pertanyaan ini dapat dijawab melalui analisa dibawah.
2.       Hubungan Jumlah Twitter User dengan Jumlah Follower
Mungkin akan ada argumen bahwa terang saja Barack Obama memiliki follower banyak karena dia adalah presiden dari negara dengan jumlah pengguna twitter terbanyak. Argumen tersebut bisa dipatahkan dengan kenyataan yang menarik bahwa Najib Razak, Perdana Menteri Malaysia, memiliki rasio tertinggi. Dengan jumlah twitter user Malaysia hanya sebesar 1,3 juta user saja, Najib Razak berhasil mendapatkan 553 ribu follower, atau dengan rasio satu follower per 43 twitter user Malaysia.
Sayang sekali, Presiden SBY harus mengalami nasib yang sama dengan analisa sebelumnya. Padahal dengan jumlah twitter user Indonesia sebesar 19.5 juta jiwa (terbesar kelima di dunia), SBY seharusnya dapat memanfaatkan pangsa pasar yang besar ini.
Kesimpulan
1.       Tingkat Popularitas Lintas Negara
Meskipun dengan jumlah tweet yang relatif sama, isi dari tweet yang juga relatif sama, dan sama-sama memiliki twitter user yang besar, popularitas Barack Obama dan David Cameron sudah meng-global melewati lintas negaranya. Tentu saja bukan hanya warga negaranya saja yang mem-follow akun mereka, sangat besar kemungkinan warga negara lain pun ikut mem-follow. Lain cerita dengan SBY yang belum sepopuler mereka.

2.       Ketertarikan dan Keterlibatan Warga Negara dengan Politik
Indonesia boleh saja memliki jumlah pengguna twitter user nomor lima terbesar di dunia, tetapi apakah warganya melek dan peduli terhadap politik dan urusan kenegaraan? Belum tentu. Mem-follow presidennya mungkin bukan merupakan hal yang menarik. Warga Indonesia lebih tertarik mem-follow figur selebritis atau aktivis sosial yang tweet-tweet nya lebih membumi dibandingkan SBY. Setahu saya, karakter dari twitter user Indonesia twitter user yang cerewet dan mudah me-RT untuk hal-hal yang ringan seperti perasaan sehari-hari atau isu-isu ringan yang hangat di masyarakat.
Penelitian sederhana ini tentu saja masih memiliki ruang yang masih dapat di-improve. Masih banyak variabel lainnya yang harus diperhitungkan seperti karakter twitter user suatu negara, approval rating suatu pemimpin di negaranya, hingga aspek lainnya. Namun, dari hasil yang ditunjukkan data diatas, para pemimpin politik dapat mengevaluasi strategi komunikasi politik yang selama ini telah dijalankan. Dalam era twitter dan facebook seperti sekarang ini, sangatlah mubazir jika seorang pemimpin tidak dapat memanfaatkan signifikansi dari social media terhadap persepsi publik.


Sunday, April 1, 2012

Fuel Subsidy

I have very clear position of this fuel subsidy issue.
The subsidy has to be reduced.
We have several reasons to answer why we should reduce the subsidy. But the ultimate reason of it is to accelerate the development of Indonesia.
Company Approach
I will elaborate this ultimate reason by using an explanation called Company Approach. Let us assume this Republic as a company. To run the company, we divide expenditure to become two types: Operating Expenses (OPEX) and Capital Expenses (CAPEX). The purpose of OPEX is to make sure the company can run the operational activities. But it only gives short term effect to the company lifespan. In this case we can classify fuel subsidy as part of the OPEX. Fuel is used by people to support daily operation, transportation, and production.
Now we have CAPEX. Company spends CAPEX for development of itself. Company buys machines or builds new factory to extend its capacity of production so it can sell more products and hire more peoples. The Republic of Indonesia has its own CAPEX. Its state budget allocates several amounts of fund for hard infrastructures: building roads, bridges, electricity, or schools and soft infrastructures: education, health, and communication.
The bad news is Indonesia has limitation of budget and the law prohibits government to spend the total expenditures more than 3% of Gross Domestic Product (GDP). So, it is like choosing priority, which one is more important: spend more in OPEX or CAPEX?
Indonesia posted impressive result of growth of its economy last year: 6.5%. The best in SE Asia. But many analysts said that we should have been better than that. Why is that? Indonesia is lack of infrastructure. Or just say that we are in the infrastructure crisis. The crisis causes imbalance of development in some areas in Indonesia. Fuel price in Papua has reached Rp18,000/ltr. Pontianak Orange is more expensive than Mandarin ones. Land transportation cost in Indonesia is higher 50% than average SE Asia countries. Worse, the shipping cost is 150% higher.
We now successfully brand ourselves as middle income country. But there is a threat called “Middle Income Trap”, the situation where middle income country could not elevate itself to higher level because of lack infrastructure and investment.
So, by considering these good momentums: investment rating upgrade, trust from foreign investors, and membership of Indonesia in G20, it is the time for Indonesia to focus more in development. We have to spend more in CAPEX instead of prioritizing OPEX.
Supporting Reasons
To add the above explanation, there are several reasons that also make this subsidy cut reasonable.
1.       The rising of world oil price

The government cannot tolerate more with the skyrocket increase of world oil price. Thanks to Iran-Israel-US conflict which contributes to this increase. I will explain how big the amount of subsidy that should be bear by government.

First, we have to calculate the fuel/gasoline price first in normal condition, without subsidy. We use Mid Oil Plat’s Singapore (MOPS) as a basis. Currently MOPS = US$ 138/barrel.
Refinery and distribution cost are 10% of MOPS, so the cost will be = 1.1 x 138 = US$ 151.8/barrel or Rp 1,442,100/barrel.
If we convert the amount to liter = Rp 1,442,100/159 = Rp 9,070/liter.

So the normal fuel price without subsidy is Rp 9,070/liter.

Now we calculate net domestic demand of fuel.
Total domestic fuel demand is 56 million-kiloliter/year or 153,425 kiloliter/day.
While our crude oil production is 900,000 barrel/day or equals to 143,100 kiloliter/day.
Normally, Indonesia could get 20% of crude production for fuel and it equals 28,620 kiloliter/day.
So, there is deficit of fuel (net domestic demand) amounting 139,115 kiloliter/day, in which we have to import it.
How much money should government prepare in a year?
139,115 x 1000 x 365 x (9,070-4500) = Rp 232,050,204,500,000 or Rp 232 trillion.
How much money that has been allocated in state budget (APBN) 2012? Only Rp 124 trillion.
If we push to keep allocate Rp232 trillion, how much deficit of budget that will be occur?

1.       State Budget 2012 approved (ICP US$ 105/barrel)
Gross Domestic Product = Rp 8,120 trillion
State Revenue = Rp 1,293 trillion
State Expenditure = Rp 1,419 trillion
Deficit = 1.5 % of GDP

2.       State Budget 2012 (MOPS US$ 130/barrel)
Gross Domestic Product = Rp 8,120 trillion
State Revenue = Rp 1,293 trillion
State Expenditure = Rp 1,419 + (232-124) trillion = Rp 1,527 trillion
Deficit = 2.8 % of GDP
The Deficit 2.8% of GDP should be added by 1.5% which comes from deficit of regional budget. Total deficit will be 3.3% which exceeds deficit limit allowed by the law amounting only 3%.

2.       Opportunity to promote renewable energies
It is almost impossible for renewable energies in Indonesia to develop if their competitor, the conventional energy, is still cheap and accessible. It will be favorable if the government could allocate fund from fuel subsidy cut to the development of renewable energies.
Well, the decision has been made in the parliament. Although the subsidy cut is not cancelled (it is suspended), it is too bad that we have un-visionary lawmakers. I do not know whether they realize or not that we are facing infrastructure crisis since the decision was made based on their political interest.
For now, let us see whether the government could take bold action.

Source:

- www.depkeu.go.id
- http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2012/03/28/mari-menghitung-harga-bahan-bakar-
  minyak-secara-sederhana
- www.bps.go.id

Tuesday, November 1, 2011

Indonesia is Having Growing Pain

Anak dari salah seorang rekan saya mengalami demam yang cukup tinggi. Rekan saya tersebut bercerita bahwa bisa saja penyebab dari sakitnya si anak adalah virus atau bakteri. Akan tetapi, bos saya berujar kepada rekan saya tersebut bahwa mungkin anaknya terkena "growing fever".

Menurut si bos, growing fever bisa terjadi pada balita/anak yang sedang mengalami perubahan aktivitas, contohnya baru belajar merangkak, belajar jalan, atau sedang senang-senangnya berlari. Tubuh dari anak tersebut mengalami perubahan metabolisme seiring dengan pertumbuhan aktivitas-aktivitasnya. Antibodi si anak bekerja merespon perubahan ini, sehingga munculah demam atau rasa sakit. Menurutnya, hal ini dapat dijelaskan secara medis.

Akhirnya karena penasaran saya cari-carilah di internet. Memang tidak ada istilah resmi dari Growing Fever karena yang ada adalah Growing Pain. Definisi growing pain yang saya dapatkan di http://kidshealth.org/parent/general/aches/growing_pains.html adalah sakit yang dirasakan anak karena proses alamiah tumbuhnya tulang. Growing pain juga wajar dialami anak ketika mereka melakukan aktivitas seperti berlari atau memanjat.

Nah saya menganalogikan kondisi diatas dengan apa yang di alami Indonesia saat ini. Sering kita merasa bahwa negera ini didera banyak sekali permasalahan mulai korupsi, kekerasan horizontal, kebebasan berpendapat yang kebablasan, dan yang lainnya. Saya sampai kepada suatu pemikiran bahwa Indonesia mengalami growing pain.

Bebas dari era Orde Baru yang tersentralisasi, tertutup, dan represif kemudian masuk kedalam era Reformasi yang terdesentralisasi, terbuka, dan bebas mewajibkan bangsa ini mengalami painful adjustment. Kita merasakan kenapa banyak sekali kasus korupsi yang terungkap, seakan-akan situasi sekarang lebih buruk dari masa Orde Baru.

Apakah memang demikian? menurut saya tidak. Korupsi dan abuse of power justru rentan terjadi pada kepemimpinan sentralistik dan tertutup. Apakah bisa disimpulkan bahwa KKN oleh keluarga Soeharto dan kroninya lebih baik dari korupsi yang terjadi saat ini? Apakah bisa dimaklumi bahwa pelanggaran HAM di zaman Soeharto seperti kasus Timor Timur, Tanjung Priok, Aceh, Papua lebih baik dari sekarang ini?. Saya tidak menyangkal bahwa kasus korupsi masih banyak terjadi di zaman sekarang tetapi sebenarnya lebih berbahaya korupsi yang tidak berani dibuka sama sekali oleh media seperti di zaman Orde Baru.

Berikutnya mengenai kebebasan berpendapat. Mengutip pernyataan @ulil di twitter, "Mengkritik penguasa resikonya besar sekali, sekarang mengkritik SBY, bisa membuat seseorang populer dan menjadi media-darling". Saya sama sekali bukan penggemar SBY, tapi jika membandingkan kebebasan berpendapat dan kebebasan media, kita harus mensyukuri kondisi yang kita alami sekarang.

Banyak yang berpendapat sekarang kebebasan media dan berpendapat sudah kebablasan. Kebablasan tersebut muncul karena masih belum dewasanya masyarakat dalam mencerna dan menganalisa permasalahan. Apalagi sekarang media dikuasasi oleh kepentingan-kepentingan politik. Pihak-pihak yang tidak suka dengan pemerintahan sekarang akan memberitakan isu secara tidak seimbang demi kepentingan golongannya semata.

Lalu apa solusinya? apakah harus dibatasi kebebasan berpendapat? Saya jawab tidak. Ini adalah proses yang harus dilewati bangsa Indonesia dalam berdemokrasi. Ingat, kita hanya baru melewati 14 tahun dari mulainya awal era reformasi. Periode yang begitu muda untuk menjadi bangsa demokrasi yang dewasa. Amerika Serikat dan Perancis membutuhkan 200 tahun lebih untuk menjadi role model bangsa berdemokrasi berkualitas di dunia ini. Inggris malah lebih lama lagi. Solusinya, selama melewati growing pain ini, masyarakat harus dapat mencerna dan menganalisa lebih dalam lagi opini-opini yang berkembang di media.

Saya berharap Indonesia dapat melewati demamnya ini dengan mulus. Butuh waktu yang lama tetapi bukan suatu kemustahilan untuk dijalani.



Sunday, October 30, 2011

Invasi Musisi Asing ke Indonesia

Setelah lebih dari setahun tidak menonton konser musik, akhirnya kemarin malam, 28 October 2011, saya menonton konser Owl City di Tenis Indoor Senayan.

Penampilan yang atraktif, musikalitas yang unik, konikatif dengan penonton menjadi kekuatan konser Owl City. Sebenarnya kualitas sound system tidak terlalu bagus dan sering bergaung, mungkin karena Tennis Indoor Senayan selayaknya tidak pantas untuk dijadikan tempat konser musik.




Satu yang ingin saya garis bawahi disini adalah jumlah konser musisi asing meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini memberikan dampak positif kepada Indonesia. Kedatangan musisi-musisi asing terkenal menjadi "iklan" bagi dunia internasional bahwa Indonesia aman dan merupakan pasar yang atraktif.

Hal penting lain yag tidak boleh kita lupa adalah dengan semakin gencarnya invasi musisi-musisi asing ke Indonesia, jangan sampai musisi Indonesia kalah berkompetisi. Musisi Indonesia harus jadi tuan rumah di negeri sendiri. :)

Tuesday, October 11, 2011

Save Babakan Siliwangi

Hari Sabtu, 8 Oktober 2011 kemarin saya menyempatkan diri untuk mampir ke Babakan Siliwangi (Baksil), kawasan di Bandung yang baru saja diresmikan menjadi Hutan Kota oleh PBB. Baksil terancam keberadaannya karena ada rencana untuk mengubah Baksil menjadi hotel dan restoran.

Saya post beberapa foto Baksil, beserta fakta-fakta yang menarik tentangnya..

Parkir sepeda


Forest walk



Another forest walk
 
Masih forest walk lagi..


Pondok Kesenian Baksil
 1. Luas Baksil 3.8 hektar, atau setara 7.5 kali lapangan sepak bola
2. Memiliki 48 jenis pohon dan 24 jenis burung
3. Mampu menghasilkan oksigen untuk 15,600 jiwa
4. Berfungsi sebagai daerah luapan air, bukan resapan air, karena di dalamnya terdapat mata air.
5. Memiliki acara kesenian yang unik setiap bulannya yaitu Ketangkasan Domba

Baksil mudah untuk diakses, jika teman-teman ingin kesana naik angkutan kota, naitklah angkot ke arah Dago, lalu minta turun di Simpang Dago dekat Mc Donalds. Dari Simpang, jalanlah 200 meter ke arah Sasana Budaya Ganesha. Akan terlihat tempat parkir sepeda seperti foto diatas. Entrance berada sebelah kiri parkir sepeda tersebut. It's Free.

Yuk mari kita ramaikan Babakan Siliwangi, buktikan bahwa kita memerlukannya sebagai Hutan Kota.

Monday, October 10, 2011

Get Inspired with TEDxBandung

Hari Minggu kemarin, saya beruntung bisa terpilih diantara 100 orang attendance di TEDxBandung. Untuk yang belum mengetahui apa itu TED, silahkan membuka websitenya di www.ted.com. Intinya, TED adalah suatu wahana dimana didalamnya terjadi sharing ide dan inspirasi lintas bidang. Sementara itu, TEDxBandung sendiri adalah salah satu dari event TED yang diselenggarakan di Bandung (www.tedxbandung.org). Di Indonesia, event-event TED sudah dilaksanakan di Jakarta (www.tedxjakarta.org), TEDxUI, dan TEDxITB.




TEDxBandung yang kemarin saya hadiri mengusung tema Counting Forward. Jujur saja, saya tidak mengerti apa dibalik makna Counting Forward ini. Para pembicara yang berjumlah sembilan orang yang berasal dari berbagai bidang dengan membawa berbagai macam tema pun tidak spesifik menyinggung tema global counting forward.

Acara dibuka dengan dua presentasi dari pemenang dan finalis dari E-Idea British Council. Aria Widianto sebagai pemenang mempresentasikan tentang idenya mengonversi bahan bakar ratusan angkot di Cirebon dengan gas alam. Sedangkan Anton Abdul Fatah, salah satu finalis, dan kebetulan teman saya sewaktu SMA di Bandung mempresentasikan tentang proyek merehabilitasi lahan yang tidak produktif karena dampak usaha batu bata di desanya, Sindang Sari, Garut. Keduanya membuat saya salut. Poin penting yang saya catat disini adalah mereka rela meninggalkan kehidupan yang stabil di dunia kerja, mencoba mencari solusi atas masalah di lingkungan sekitar mereka dengan segala keterbatasan dan tantangan, dan berhasil membawa perbaikan untuk lingkungannya tersebut.

Pembicara berikutnya adalah Denny Darko, seorang magician, yang menjelaskan mengenai otak manusia yang hanya baru dimanfaatkan sekitar 12% saja dan juga kebanyakan orang-orang yang hanya melihat apa yang ingin dilihatnya, tanpa mencoba memperluas penglihatannya sehingga dapat melihat apa yang benar-benar terjadi di sekitarnya.

Setelah break, presentasi dilanjutkan oleh Enda Nasution, si raja blogger Indonesia. Hal menarik yang dibawakan oleh Enda adalah bagaimana kondisi Indonesia sebagai pengguna social media. Ternyata, Indonesia user twitter paling aktif nomor 3 dan user facebook paling aktif nomor 2 di dunia. Akan tetapi, sebagai masyarakat yang "cerewet", preferensi dari user-user twitter di Indonesia cenderung hanya me-RT suatu statement atau menjawab akun-akun yang bersifat komunikatif seperti @soalCINTA atau #mentionke. Dapat kita simpulkan bahwa user-user Indonesia masih dalam tahap user yang responsif, belum mencapai tahapan informatif atau bahkan analitis. Informasi yang menarik lainnya adalah, prime time dari waktu men-tweet masyarakat Indonesia, dimana pagi hari (7-9 pagi) dan malam hari (7-9 malam) adalah waktu paling sering orang men-tweet.

Eya Grimonia, seorang violist berumur 16 tahun, melanjtkan sesi selanjutnya. Eya memainkan nomor-nomor cantik dengan biolanya dan berusaha menghubungkan antara musik dengan matematika dan fisika. Jujur saja, saya kurang menangkap pesan dari Eya karena saya benar-benar awam soal teknik bermain musik.

Eya Grimonia membawakan lagu Smooth Criminal, Michael Jackson
Di sesi selanjutnya, Tendi Naim, seorang educator, sekaligus owner dan GM dari restoran Bumbu Desa, mempresentasikan tentang kondisi pendidikan di Indonesia. Tendi mengulas Ki Hajar Dewantara, yang telah menemukan konsep active learning semenjak tahun 1941, yang kini tengah banyak diaplikasikan di dalam dunia pendidikan. Saya menjadi termotivasi untuk membaca buku hasil pemikiran Ki Hajar Dewantara yaitu: Pendidikan (1962) dan Kebudayaan (1967).

Sesi terakhir dari event ini diisi oleh Pandji Pragiwaksono (www.pandji.com), seorang tokoh muda, yang mengajak kaum muda Indonesia agar peduli perkembangan politik negeri ini. Catatan penting yang saya ambil dari presentasi Pandji adalah pergerakan selalu dimulai oleh kaum muda: 1908, 1928, 1945, 1966, 1998. 

"Kaum mudalah yang akan membangkitkan Indonesia", seru Pandji
 Presentasi dari Ridwan Kamil sungguh menarik buat saya. Oleh karena saya juga tertarik dengan bidang urban, apa yang disampaikan Kang Ridwan merupakan jawaban-jawaban atas permasalahan yang dihadapi kota-kota besar di Indonesia. Indonesia Berkebun (www.indonesiaberkebun.org), sebuah gerakan penghijauan kota di lahan-lahan apapun yang tersedia melalui penanaman tanaman-tanaman yang dapat dikonsumsi, menjadi salah satu kegiatan yang diinisiasi oleh Kang Ridwan. Selain itu, Kang Ridwan juga menyampaikan sneak peek tentang proyek terbarunya untuk membuat penyewaan sepeda di dalam kota Bandung. Mungkin sama dengan konsep velolib di Paris.

Ridwan Kamil menjelaskan tentang The Happiness Index
Terakhir, presentasi Sujiwo Tedjo menutup event ini. Seniman yang terkenal dengan umpatan "djiancuuuk..." nya ini mempresentasikan tentang konsep matematika, mencari pola dalam ketidakaturan, yang diaplikasikan juga dalam seni musik ataupun puisi. Well, jujur saja saya agak kurang mengerti yang disampaikan beliau. Pemikiran beliau mungkin terlalu tinggi sehingga saya tidak sampai menggapainya, hehe.. 

Konsep matematika sedang dibawakan oleh Sujiwo Tedjo
Dapat saya konklusikan bahwa event TEDxBandung ini sangat menarik. Meskipun yang disampaikan berasal dari bermacam bidang, benang merah yang dapat ditarik adalah lakukanlah apapun yang berguna, yang tentu saja sesuai dengan passion kita, dan bermanfaat untuk lingkungan. Peka terhadap apa yang terjadi di sekitar kita merupakan awal untuk memulai usaha tersebut.

TEDxBandung benar-benar mem-mind blow saya. Ingin sekali ikut di event TED yang lain.



Thursday, September 1, 2011

Meningkatkan Kualitas Pegawai Negeri Sipil

Beberapa hari yang lalu saya kumpul bersama teman-teman lama dari kampus. Salah seorang dari mereka bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Jakarta. Oleh karena topik moratorium (penghentian sementara) rekruitmen dari PNS masih hangat, saya mencoba mengulik darinya tentang kondisi PNS di Indonesia saat ini.

Sebagai pengantar jumlah PNS di Indonesia saat ini sekitar 4.6 juta orang (sumber: Badan Kepegawaian Negara). Dibawah saya sudah coba buat chart mengenai distribusi PNS Indonesia berdasarkan tingkat usia & pendidikan.

Dilihat dari tingkat usia, PNS dengan usia 46-50 dan 41-45 mendominasi komposisi berdasarkan usia. Kondisi ini bukan hal yang baik untuk produktivitas dan regenerasi. Jika kelompok usia ini pensiun, kelompok usia yang dibawahnya tidak cukup untuk mengisi pos yang ditinggalkan. Selanjutnya, hal yang mengejutkan, ternyata banyak dari PNS yang hanya lulusan SMA saja, 40% dari jumlah populasi.

Apakah hal tersebut ada hubungannya dengan tingkat produktivitas PNS saat ini? mungkin.. Dengan didominasi kelompok usia bukan angkatan muda, produktivitas PNS pun tidak sekuat itu. Saya pun cukup kaget dengan dominasi lulusan SLTA, yang sebenarnya bukan lulusan SLTA tapi juga terdapat lulusan SD, SLTP yang saya gabung dengan SLTA. Di posisi apa mereka bekerja? posisi clerical kah? Hal diatas menjustifikasi perilaku sebagian besar PNS (saya tidak katakan seluruhnya) yang bekerja kurang dari 8 jam sehari dan di kantor pun hanya melakukan kerjaan yang tidak penting.

Akhirnya saya berhenti pada kesimpulan bahwa jumlah PNS sudah tidak efektif dan efisien lagi dibanding output yang dihasilkannya. Oleh karena itu, selain setuju terhadap moratorium yang dilaksanakan oleh pemerintah, saya mempertimbangkan beberapa hal yang dapat meningkatkan produktivitas dari para PNS. Visinya adalah membuat culture PNS seperti culture pegawai swasta.

1. Setelah di stop input PNS baru lewat moratorium, naikkanlah gaji PNS disertai dengan meningkatkan bobot kerja PNS tersebut. Oleh karena jumlah pegawai berkurang, beban kerja per pegawai akan semakin bertambah. Hal in fair dengan peningkatan gaji untuk para PNS tersebut.

2. Paksakan sistem rewards & punishment yang ketat. Jangan pulang sebelum 8 jam bekerja. Tapi beri bonus yang jelas apabila karyawan tersebut berprestasi. Saya menyarankan seluruh kementerian meng-hire konsultan HR terkemuka seperti Hay Group untuk mengantisipasi hal ini.

3. Stop penggunaan seragam PNS coklat-coklat. Sepertinya hanya di Indonesia saja penggunaan seragam untuk para PNS. Di negara-negara maju sana, para public servant menggunakan pakaian bebas sama seperti karyawan kantoran lainnya. Hal ini untuk mengadopsi corporate & professional culture di kalangan para PNS.

4. Tawarkan program pensiun dini. Program ini bertujuan untuk mengurangi PNS dengan kelompok usia less-productive (41-50). Mengurangi jumlah PNS lewat input saja tidak cukup. Perbesar juga output.

5. Untuk posisi-posisi clerical, pemerintah dapat menggunakan jasa pegawai kontrak. Hal ini bertujuan untuk menjaga tingkat efisiensi jumlah pegawai permanen. Dengan ditingkatkannya bobot kerja dan remunerasi, para PNS semestinya hanya berkonsentrasi di pekerjaan-pekerjaan yang non clerical. Hal ini juga dapat mengurangi komposisi PNS dengan lulusan hanya setingkat SLTA yang hanya mengerjakan pekerjan-pekerjaan clerical. 

Jika memang ingin merubah kondisi PNS, dibutuhkan niat dan kesabaran yang tinggi. Akan banyak painful-adjustment yang dihadapi di kemudian hari. Akan tetapi hal tersebut bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dilakukan.